Logika Ilmiah Lawan Logika Spanduk

Oleh S. SAHALA TUA SARAGIH

"DISKUSI PLTSa Berlangsung Ricuh. Prof. Otto Dihujani Interupsi Anggota Dewan." Demikian judul kepala berita Pikiran Rakyat (Rabu, 19-12-2007).

Dalam berita itu wartawan "PR" melaporkan kericuhan pada diskusi tentang Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang digelar oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung di sebuah hotel mewah di Bandung. Penyelenggara menghadirkan empat ilmuwan senior sebagai pembicara, yakni Prof. Dr. Otto Soemarwoto dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Dr. Enry Damanhuri dan Dr. Deni Zulkaidi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), serta Dr. Asep Warlan Yusuf dari Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar).

Sang peyelenggara (baca: DPRD Kota Bandung) akhirnya secara paksa menghentikan diskusi itu karena para pembicara dianggap tidak mengetahui PLTSa hasil kajian Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) ITB. Dalam berita itu dilukiskan betapa kecewanya para ilmuwan senior tersebut karena ulah para anggota DPRD itu.

Tampaknya, keempat ilmuwan senior itu telah menjadi korban konflik internal DPRD Kota Bandung. Sang penyelenggara diskusi tersebut bukan untuk menyimak dengan seksama berbagai pendapat para pembicara, yang niscaya didukung oleh argumentasi ilmiah yang sangat kuat, melainkan untuk "bunuh-bunuhan" sesama pemimpin dan anggota DPRD. Sungguh kasihan dan tak manusiawi, para ilmuwan terhormat tersebut dijadikan tumbal dalam "perang" antarfraksi DPRD Kota Bandung.

Rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung untuk menyerahkan pengelolaan sampah di kota ini kepada PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) menimbulkan kontroversi. Menurut hasil kajian LPM ITB, "lautan" sampah kota Bandung dapat diolah oleh PT BRIL di daerah Gedebage menjadi energi listrik. Hal ini ternyata menimbulkan reaksi pro-kontra dari berbagai pihak, termasuk masyarakat yang berdomisili di daerah Gedebage yang sering jadi langganan banjir itu.

Dalam diskusi yang berakhir kacau itu, entah mengapa DPRD Kota Bandung tak menghadirkan tim LPM ITB, yang selama ini dengan rasa percaya diri tinggi selalu siap "ditantang" oleh siapa pun, termasuk para pakar lingkungan dari ITB. Entah mengapa, dalam diskusi itu tak ditampilkan pula juru bicara Pemkot Bandung, Direksi PT BRIL, Direksi PD Kebersihan Bandung, dan wakil rakyat Bandung, terutama warga masyarakat Gedebage yang menolak PLTSa.

Pertanyaan kritis

Kita tak hendak terlibat dalam kontroversi projek PLTSa berbiaya investasi Rp 360 miliar itu. Hal yang sangat penting dan menarik untuk kita kaji kini adalah pertolakbelakangan logika ilmiah para ilmuwan yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut dengan logika pragmatis yang diterapkan Pemkot Bandung di luar forum itu.

Keempat ilmuwan itu, terutama Pak Otto, mempertanyakan besarnya biaya yang harus dibayar oleh Pemkot Bandung melalui PD Kebersihan kepada PT BRIL. Biaya yang besar itu pastilah diperoleh dari retribusi bulanan yang wajib dibayar warga kota Bandung yang menghasilkan sampah. Bila projek PLTSa itu jadi dilaksanakan, maka PD Kebersihan harus membayar Rp 285.000,00 per ton sampah kepada PT BRIL. Padahal, di Jakarta tarifnya hanya Rp 70.000,00 per ton sampah.

Ada sembilan pokok pikiran dan pertanyaan skeptis dan kritis Pak Otto, yang tentu saja berlandaskan logika ilmiah, yang di-sampaikannya dalam diskusi itu. Pertama, dengan tarif Rp 285.000,00 per ton sampah, maka tiap tahun PD Kebersihan harus membayar lebih Rp 51 miliar kepada PT BRIL. Padahal, sampah yang dengan susah payah dikumpulkan dan diantarkan oleh PD Kebersihan ke Gedebage itu dimanfaatkan oleh PT BRIL sebagai pasokan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga listrik. PD Kebersihan harus memasok 500 ton sampah tiap hari kepada PT BRIL sebagai bahan bakar PLTSa-nya.

Menurut logika Pemkot Bandung dan sang pengusaha (operator), PD Kebersihan membeli jasa dari PT BRIL untuk pemusnahan sampah. Padahal, menurut logika ilmiah Pak Otto, dalam konsep mutakhir di bidang ekologi industri tidak dikenal limbah yang harus dibuang atau dimusnahkan. Kita harus meniru alam yang tak mengenal sampah. Limbah adalah sumber daya untuk proses lain. Jadi, seharusnya PT BRIL-lah yang harus membayar kepada PD Kebersihan atas jasanya memasok bahan bakar berupa sampah.

Kedua, Pak Otto bertanya, apakah PD Kebersihan tak akan segera bangkrut? Soalnya, tak semua sampah Bandung dapat dimanfaatkan oleh PT BRIL, sehingga PD Kebersihan harus mengeluarkan biaya besar lagi untuk pembuangan sisa sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.

Ketiga, relakah rakyat Bandung membayar lebih Rp 51 miliar per tahun ditambah biaya pembuangan sampah lainnya ke TPA?

Keempat, apakah adil PD Kebersihan dikenai denda jika terlambat membayar, sementara PT BRIL tak dikenai sanksi apa pun bila terlambat mengolah sampah?

Kelima, mengapa teknologi waste-to-energy dengan membakar metan yang terbentuk secara alamiah dalam tumpukan sampah diabaikan? Teknologi ini telah berkembang pesat karena dipacu oleh isu perubahan iklim. Dengan membakar metan yang merupakan gas rumah kaca yang 20 kali lebih kuat dari CO2, PLTSa-metan dapat membantu menangkal perubahan iklim.

Sementara itu, teknologi PLTSa-insinerator yang diterapkan PT BRIL justru menghasilkan CO2 dan menambah bahaya perubahan iklim. Teknologi PLTSa-metan dapat dijual dalam kerangka Protokol Kyoto yang menghasilkan dolar. Sisa bahan organik yang masih ada dapat digunakan sebagai kompos. Hasil yang kita dapatkan ialah listrik, penangkal perubahan iklim, dan dolar dari hasil penjualan pembakaran metan dan kompos.

Teknologi ini sesuai dengan Bali Road Map, sementara PLTSa-insinerator yang menghasilkan CO2 justru menjegal Bali Road Map yang diperjuangkan mati-matian oleh Indonesia dalam Konferensi mengenai Perubahan Iklim di Bali baru-baru ini.

Keenam, mesin menghasilkan listrik untuk siapa? Untuk PT BRIL atau untuk PD Kebersihan, atau dibagi menurut formula tertentu?

Ketujuh, adakah jaminan bahwa mesin yang dibeli PT BRIL dari Republik Rakyat Cina (RRC) itu benar-benar baru? Kini RRC memodernisasi diri dan menjual mesin-mesin tua yang mencemari lingkungan dan tak efisien kepada negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Mesin tua jelas rawan gangguan. Kemungkinan besar kita membeli mesin murah, ingin untung tapi justru buntung.

Kedelapan, mengapa dalam Kerangka Acuan Analisa Dampak Lingkungan (Andal) tidak disebutkan pengukuran background baseline dioksin dan rencana pemantauannya? Selama PLTSa berjalan baik dan tidak terbentuk dioksin, zat racun yang menakutkan. Akan tetapi, risiko terbentuknya dioksin selalu ada, misalnya pada waktu ada gangguan pembakaran sampah dan suhu turun di bawah 800 derajat Celsius.

Oleh karena itu, perlu dilakukan pengukuran background baseline dioksin sebelum PLTSa dioperasikan dalam wilayah yang diperkirakan akan terkena asap PLTSa. Wilayah ini dapat diperkirakan dengan Gaussian Dispersion Model ataupun model simulasi lain yang sesuai. Pengukuran itu harus dilakukan terus menerus selama PLTSa beroperasi sebagai pemantauan rutin.

Kesembilan, mengapa tak ada rencana pengelolaan risiko kebocoran dioksin? Betapa pun baik perencanaan dan modernnya sebuah mesin, selalu ada peluang terjadinya gangguan. Kita, orang Indonesia, terkenal ceroboh, sampai-sampai pesawat terbang kita dilarang terbang ke Eropa. Banyak insiden lepasnya zat racun terjadi di berbagai negara, antara lain dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Amerika serikat (AS), Inggris, Jepang, dan yang sangat menghebohkan pastilah Chernobyl (Rusia), Donora (AS), Italia. Yang paling mengerikan pastilah tragedi di Bhopal (India) yang menewaskan dan membuat cacat ribuan penduduk setempat. Saat terjadi gangguan pada PLTSa-insinerator dapat terbentuk dioksin dalam kadar tinggi. Risiko ini jelas tak boleh diabaikan oleh Pemkot Bandung dan PT BRIL.

Logika spanduk

Sebelum dan pascadiskusi yang diselenggarakan oleh DPRD Bandung itu, rakyat Bandung dan siapa pun yang berkunjung/melintasi kota Bandung pastilah menyaksikan "operasi spanduk". Selain mengatasnamakan beberapa partai politik, spanduk-spanduk itu juga mengatasnamakan berbagai organisasi masyarakat (Ormas) yang belum pernah kita kenal. Kita tidak tahu apakah ormas-ormas itu tergolong lembaga nyata, lembaga siluman atau gadungan belaka. Isi semua spanduk itu seragam, mendukung penuh PLTSa Gedebage. Kita pun tak tahu pasti, siapa sponsor utama "operasi spanduk" tersebut.

Agaknya dengan sikap PD (percaya diri) tinggi, Pemkot Bandung berpikir bahwa dengan hadirnya secara mendadak "lautan" spanduk berisi dukungan penuh terhadap PLTSa, yang mengatasnamakan beberapa Parpol dan Ormas itu, maka seluruh/mayoritas rakyat Bandung dianggap juga turut mendukung penuh projek bernilai investasi Rp 360 miliar tersebut.

"Operasi spanduk" ini dianggap sebagai wujud demokrasi. Pengambilan keputusan untuk mengoperasikan PLTSa dianggap ditempuh dengan cara yang sangat demokratis, karena sudah "didukung" oleh rakyat melalui "operasi spanduk". Ini namanya "logika spanduk" atau "demokrasi spanduk".

Inikah yang disebut demokrasi semu atau palsu? Semudah itukah rakyat Bandung percaya terhadap "logika spanduk" ini? Bukankah selama ini rakyat Bandung terkenal cerdas, kritis, dan skeptis terhadap setiap pesan yang menerpa mereka melalui media apa pun?

Bila kelak proyek PLTSa itu menimbulkan dampak buruk, misalnya bencana serius seperti yang dikuatirkan oleh Pak Otto tersebut, maka bisa jadi Pemkot dan DPRD Kota Bandung de-ngan enteng berkilah, "PLTSa ini kan keputusan rakyat Bandung sendiri. Masih ingat kan bagaimana dahulu rakyat Bandung mendukung penuh PLTSa ini melalui ribuan spanduk berukuran raksasa yang dipajang di semua penjuru kota ini?"

Semua warga kota Bandung, bahkan orang luar Bandung pun, pastilah setuju dan mendukung penuh kerja keras Pemkot Bandung bersama rakyat kota ini untuk menangani masalah sampah secara ajeg dan profesional. Kita tentu tak mau lagi Bandung meraih "anugerah" dari Menteri Negara Lingkungan Hidup berupa predikat "Kota Terkotor". Kita pun merasa sangat malu kota kita ini dua tahun lalu dijuluki "Bandung Lautan Sampah".

Akan tetapi, hingga kini kita masih sangat penasaran dan terus menanti jawaban ilmiah dari LPM ITB terhadap sembilan pernyataan dan pertanyaan skeptis dan kritis Pak Otto di atas, dan pendapat tiga ilmuwan yang berbicara dalam diskusi tersebut. Kita juga ingin tahu jawaban pihak Pemkot Bandung, PD Kebersihan, dan PT BRIL terhadap kajian kritis para pakar lingkungan tersebut.

Rakyat Bandung juga perlu dan berhak tahu, siapa pemilik PT BRIL, berapa modalnya, dan berapa ahlinya yang akan mengoperasikan mesin tersebut? Apakah para ahlinya cukup berpengalaman mengolah sampah? Apakah perusahaan itu memiliki pengalaman dalam industri pengolahan sampah? Bila, ya, kapan, berapa lama, dan di mana? Perusahaan di negara mana yang ia jadikan sebagai rujukan atau contoh yang bagus ditiru? Apakah PT BRIL mengasuransikan semua penduduk Gedebage dan sekitarnya?

Meskipun ada anggota DPRD Kota Bandung yang menegaskan bahwa PLTSa ini sudah keputusan final, dan pihaknya merasa wajib mengawalnya hingga terwujud, kita, rakyat Bandung, tetap menanti jawaban logis dan ilmiah dari LPM ITB, Pemkot Bandung, dan PT BRIL. Investasi a-wal projek raksasa ini jelas menggunakan uang rakyat Bandung. Nanti, dalam pengoperasiannya, sehari-hari sang operator juga memakai uang rakyat Bandung. Oleh karena itu, Pemkot dan DPRD Kota Bandung harus mau dengan rendah hati mendengarkan, menyimak, dan memerhatikan dengan seksama aneka suara rakyat Bandung.

Janganlah hanya mendengarkan suara mereka yang berpikir dan bertindak Machiavellis (tujuan menghalalkan cara) serta sangat pragmatis, yang terpenting "UUD" ("ujung-ujungnya duit")!